Sabtu, 31 Januari 2015

Muslimah, Jilbab Cantik Yang Binal

Muslimah adalah seorang ibu rumah tangga berwajah cantik yang berkulit putih bersih baru berusia 31 tahun. Selama 6 tahun perkawinannya dengan mas Syamsul, wanita ini telah dikaruniai dua anak yang masing-masing berusia 3 tahun dan 5 tahun. Selain kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, wanita yang selalu mengenakan jilbab ini juga cukup aktif di partai, demikian juga suaminya. Jilbab lebar serta jubah panjang serta kaus kaki sebagai cirinya ada padanya apabila dia keluar rumah atau bertemu laki-laki yang bukan mahromnya, sehingga mengesankan kealiman Muslimah.
Sore ini, ibu muda yang alim ini kedatangan tamu seorang laki-laki yang dikenalnya sebagai rekan sekantor suaminya, sehingga terpaksa dia harus mengenakan jilbab lebarnya serta kaus kaki menutupi kakinya untuk menemuinya, karena kebetulan suaminya sedang rapat di kantor dan baru akan kembali selepas maghrib. Dengan jilbab putih yang lebar serta jubah panjang bemotif bunga kecil berwarna biru serta kaus kaki berwarna krem, Muslimah menemui tamu suaminya itu bernama Naryo. Seorang laki-laki yang kerap bertamu ke rumahnya. Wajahnya tidak tampan namun tubuhnya terlihat tegap dan atletis. Usianya lebih muda dari suaminya ataupun dirinya hingga suaminya ataupun dia sendiri memanggilnya dengan sebutan dik Naryo.

Jumat, 30 Januari 2015

Pelet ( 3 ), Mbak Indri Uztadzah Cantik

Kami bangun sekitar jam 4 sore. Aku menggeliat dan merasakan batangku kesakitan karena dijepit dalam vagina sempit mbak Nia, tetangga depan rumahku. Karena aku meringis dan membuat gerakan menarik batangku, membuat mbak Nia terbangun juga, dengan meringis ia membuka matanya.
“Ada apa, Mal?“ tanya wanita cantik beranak satu itu dan kemudian tersenyum menggodaku.
“Sudah, mbak, jangan menggodaku lagi.“ selorohku dengan nakal sambil mencoba menarik batangku yang ngaceng sedikit demi sedikit. Tapi bukannya melepas, Nia malah makin menggodaku dengan memajukan pantatnya, mengejar penisku agar tetap menancap dalam di liang vaginanya.
“Sudah, mbak… aku sudah capek.“ pintaku sambil meremas-remas payudaranya yang sebesar kepalan tangan. Benda itu terasa hangat dan empuk sekali.

Kamis, 29 Januari 2015

Pelet ( 2 ), Inez Jilbab Binal

Kecapekan setelah main dengan Linda membuatku tidur pulas sampai pagi. Begitu pulasnya hingga istriku yang merengek-rengek minta jatah saat tengah malam, tidak kuhiraukan. Mau njatah bagaimana, membuka mata saja aku sulit, apalagi menyetubuhinya. Terpaksa Indah harus merelakan tubuh montoknya kuanggurkan sampai pagi menjelang. Baru saat subuh tiba, dan aku sudah cukup istirahat, dia kugarap.
Tanpa basa-basi, kucium bibirnya yang tipis. Indah pun langsung membalas dengan penuh gairah. Sambil terus berciuman, tanganku juga mulai bergerak merambahi buah dadanya yang ranum, yang tidak tertutup apa-apa lagi, karena seperti biasa, Indah tidur dengan tubuh telanjang. Dia cuma mengenakan celana dalam putih tipis untuk menutupi tubuhnya yang montok dan putih mulus. Itu pun juga tidak lama, karena dengan tak sabar aku juga segera melucutinya sehingga kami sudah sama-sama telanjang sekarang.

Pelet ( 1 ), mbak Linda yang Alim

Tanah itu masih merah. Bunga yang tertabur di atasnya juga masih segar. Bau harum langsung menyerbu hidungku saat aku mulai mengayunkan cangkul. Di langit, bulan purnama bersinar terang, menerangi tanah pekuburan itu dengan cahayanya yang lembut, membantuku untuk terus bekerja, menyingkirkan gundukan tanah itu sedikit demi sedikit. Suara burung hantu bergema di kejauhan saat aku sudah berhasil mencopot nisannya.
“Tinggal sedikit lagi,” aku berusaha untuk untuk menyemangati diriku yang sudah mulai kelelahan.
Kembali cangkulku menghantam tanah, kali ini dengan lebih kuat. Aku sudah hampir kehabisan waktu. Tengah malam sudah hampir tiba, kalau aku tidak menyelesaikan pekerjaan ini tepat pada saat itu, maka akan sia-sia lah semua yang sudah aku lakukan mulai kemarin. dan aku tidak mau itu terjadi. Kuseka peluh yang menetes di kepalaku. Bajuku sendiri sudah basah dari tadi. Ketika aku sudah hampir kehabisan tenaga, cangkulku menghantam bilah papan dari kayu mahoni.
“Akhirnya…” aku berseru penuh kemenangan.